Dan akhirnya jam hampir menunjukkan pukul tujuh dan kami masih berada di sekitaran corniche, pinggiran pantai doha yg berpemandangan indah. Saat itu Pak Pur telah dua belas kali mengambil gambar tempat-tempat yg ia anggap “layak” untuk di jadikan bukti “ini loh Qatar..” kepada sanak family, teman, sejawat dan sebagainya di Indonesia.
Matahari sudah tenggelam, hanya sisa remang-remang diatas langit barat yg tersisa, setelah kami menyelesaikan shalat maghrib di sebuah masjid dekat corniche kami memutuskan untuk bergerak pulang mengisiri pinggiran pantai hingga mendekati lokasi tempat parkiran Bus jemputan. Di sepanjang jalan menuju tujuan tidak lupa Pak Satrio, assistant fotographer klik sana, klik sini membidik tanget yg ia anggap menarik untuk diambil.
Mungkin camera yg dipakai saat itu tergolong Ok, camera pocket merk Olimpus milik Mas Cholil yg gress baru dari toko seharga 600 riyal. Meski belum digital tapi hasil jepretan yg dulu-dulu memang keliatan memuaskan, auto zooming serta lampu blitz yg kadang-kadang sampai tiga kali sering menyilaukan mata orang.
Ah, aku pernah berandai-andai untuk memiliki camera yg sama kelak suatu saat..hii..hii..hii
Setelah berjalan beberapa menit keluar dari corniche tibalah kami di perempatan jalan yg berhadapad-hadapan dgn Istana Raja Qatar, Tuanku Hamad. Istananya tergolong biasa, tembok tinggi tentu mengelilingi gedung yg memang besar, dikarenakan posisi Istana lebih tinggi dari jalan utama, maka aku bisa melihat para pengawal berdiri berjaga-jaga persis dipintu utama.
Waktu telah menunjukkan pukul 7:30 malam, artinya hanya 30 menit lagi waktu kami tersisa untuk dapat berleha-leha sebelum Bus berangkat meninggalkan kota Doha menuju Ummsaeed.
Tibalah kami persis didepan Istana, entah pikiran apa yg ada dimasing-masing kepala kami hingga semua setuju untuk ber”pose” bersama didepan Istana dan Jeprett, lagii..lagii gantian, jebrett dua, dan di hitungan ketiga, Mas Satrio Andi Djatmiko-pun mengarahkan punggungnya berpose “panas” dan jeprett, selesailah pengambilan gambar malam itu, khalas!
Camera Olimpus itupun kini telah berada di tas pinggang Pak Pur, semua melangkah dengan sedikit tergesa-gesa dengan tujuan Parkiran Bus yg lima belas menit lagi akan segera meninggalkan kami, dgn bergegas menelusuri jalan pinggiran istana dan tiba-tiba !! sebuah mobil patroli polisi berhenti persis diseberang jalan dan sekilas aku memang melihat mereka melambaikan tanggannya isyarat memanggil. Mungkin tidak satupun diantara kami yg menyadari jika polisi itu memanggil kami hingga dgn tenang kamipun lewat, tanpa atur nuhun, tanpa noleh kiri kanan dan yg lebih celaka bener-bener cuek, seperti, maaf (hee..hee..) onta nyebrang jalan, aha!
Sayup-sayup aku mendengar teriakan orang (dalam bahasa arab) memanggil-manggil, ya maklumlah begitu banyak mobil lalu-lalang persis dijalan itu, dan aku mulai curiga jika teriakan itu sebenarnya tertuju pada kami, ya kami bertiga! Dan seketika itu juga aku menghentikan langkahku dan aku tiba-tiba sadar jika suara itu datangnya dari mobil POLISI (dag,dig,dug..)
“Pak!! Pak Pur!! “ aku setengah berteriak coba menghentikan “empat” langkah kaki yg masih keliatan bergegas. “Polisi!! Polisi itu manggil kita!” teriakku lagi menyakinkan. Mereka ternyata belum ngeh, belum ngerti apa yg aku maksudkan. Dengan isyarat jari aku menunjuk mobil polisi yg parkir sekitar 15 meteran dari jarak kami menghentikan langkah, diseberang jalan.
Kami berdiri berbaris disisi jalan, aku sempat melihat wajah teman2ku yg lain pucat pasi (walau samar2) dan aku, aku biasa-biasa saja (hee..hee..ngak takut ni yee). “wen pataka, wen pataka!!” setengah membentak seorang polisi bertanya pada kami, Pak Pur, Pak Satrio, dan aku saling memandang, bingung? “Bahasa apaan tuhh brur?” aku bertanya padanya (tapi cuma dalam ati..)
Tak satu orangpun diantara kami yg ngeh, ngerti, ngertos, understand, maklum; apa yg dia maksudkan? Pataka? Mungkin PETAKA kali yaa? Emang ada petaka apa? (dalam ati doank..) Kalo orang medan bilang:”Mana barani pulak aku ngomong begitu, bah! Abis aku”
Sodara2, kalo sampean ada ditempat kejadian, ikut nyaksikan, sampean bakal ngak bisa nahan geli, melihat dgn mata kepala sendiri…ampun deh, itu dua orang takutnya minta ampunnn…tuluttt, ehh..lutut rasanya mo copot bang!! Aku, yaaa…yaa takut dikit hii..hii..
Akhirnya, mungkin tuh polisi sadar kalo kita-kita pada ngak ngerti bahasa dia, bahasa Arab maksudnya, dan “Card..card..yur ID card where..where?” sambil mengisyaratkan tangannya. “oooo..kartu ID maksudnya” suara koor kami bertiga keluar tanpa sadar.
“alamaakkk…matilah aku, tak satupun identitas diri ada di dompet, tinggal coii!!” aku Cuma punya ATM card, khalas!!
Satu persatu polisi itu mulai memeriksa identitas kami masing2, Pak Pur punya, Pak Satrio ? juga punya, dan aku ? rogoh sana, rogoh sini, pura-pura nyari.
Tapi syukur alhamdulillah, ternyata kartu ATMku diterima, dia bilang (mungkin kalo di-indonesiakan)”Elo besok-besok jangan pernah tinggal tuh ID Card, ya..?” hee..hee..hee..”kayak mengerti saja kau!” kata orang medan.
Setelah berkomunikasi melalui radio yg ada di mobil polisi itu, dua polisi itu menyuruh kami untuk masuk kedalam, duduk dan tunggu instruksi dari mereka. Percakapan melalui radio sangat sulit dimengerti, aku mengira kalo mereka sedang melaporkan sesuatu pada atasan mereka, dan beberapa saat kemudian mobil itupun bergerak pelan menuju arah kiri jalan. Aku dan dua temanku hanya terdiam, tak ada satu patah katapun yg keluar diantara kami. Dalam hati aku berdoa agar tidak akan terjadi apa2 pada kami dan tentu, jangan pernah menginap satu malampun di hotel gratis, alias hotel prodio!!
Tiga mobil polisi lain tiba-tiba datang dari arah samping istana dengan kecepatan agak tinggi, memang tidak ada lampu patroli yg dinyalakan tapi sudah cukup mebuat kami bertiga berkeringat dingin. Seluruh personil polisi yg ada dalam mobil itu tampak turun satu-persatu, aku tidak sempat menghitung tapi mereka sekira sepuluhan orang. Kami bertiga diperintah untuk segera keluar dari dalam mobil oleh polisi yg ada bersama kami.
Salah seorang dari polisi tersebut, aku menduga berpangkat Kapten datang menghampiri kami dan sesaat membuka percakapan dgn bersalaman dan mengucap salam:”Assalamualaikum..” sapanya bersahabat, kami menjawab serempak”waalaikumsalaam” jawab kami. ”anta Indonesi?” ia bertanya,”Yes” tanpa komando kami menjawab lugas,”Arabic, Ingglisi?” tanyanya lagi,”Ingglisi” jawabku.
Kapten:”Ok, why did you take pictures of the palace? Do you know that it is prohibited?”
Saya (mewakili):”no Sir, we don’t know that it’s prohibited”
Kapten:”There’s a board in front of palace, did you see it?”
Saya:”No Sir, we didn’t see it, maybe because it’s dark”
Kapten:” Ok, follow me”
Seketika kamipun mengikutinya dibarengi polisi2 lain mengikuti menuju arah depan istana dan pertanyaanpun berlanjut:
Kapten:”Where did you take the pictures, show me?”
Pak Satrio mewakili mulai menunjuk tempat-tempat yg diabadikan dgn kamera;
Kapten:”that’s all? Where else?” tanyanya lagi
Pak Pur:”nothing sir” selanya
Sesaat sang kapten terdiam, dia meminta radio yg ada ditangan polisi didekatnya dan mulai berkomunikasi dalam bahasa arab.
Aku mulai memandang satu persatu polisi-polisi yg ternyata tanpa kami sadari telah berdiri melingkari kami. Percakapan telah usai, sang kapten pergi tanpa menjauh tanpa kata-kata meninggalkan kami dgn kerumunan polisi. Aku melihat sang kapten memberi isyarat tangan untuk meninggalkan lokasi pergi tanpa perintah apapun. Sejenak pikiranku menerawang, bertanya dalam hati apa yg akan terjadi selanjutnya ya?
Rombongan polisi-polisi itu telah pergi meninggalkan kami, hanya satu unit mobil polisi yg tinggal bersama kami, ya polisi yg menangkap kami itu tadi! Kamera Olimpus itu ternyata ada ditangan salah satu polisi itu, tidak dibawa pergi oleh sang kapten.
Dalam hati aku berdoa jika ia tidak akan memerintahkan kami untuk masuk kedalam mobil itu lagi. Ternyata benar, polisi itu hanya menyuruh kami menunggu diluar mobil sementara ia berkomunikasi melalui radio (mungkin) dgn sang kapten.
Aku melihat satu polisi memberi isyarat agar kami mengambil kembali sang kamera dari tangannya dan pak Pur dengan cepat bergegas mendekat dan mengambil kamera itu.
Dan Alhamdulillah, kami diperbolehkan pulang, syukur alhamdulillah!