Wednesday, February 20, 2008

Kho Ping Ho: Bu Kek Siansu (Part 2)


Semalam itu Sin Liong terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san. Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alas an "mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan". Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daundaun obat di gunung-gunung. Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu. Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat. Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang lakilaki setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia datang terpincangpincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam. "Sin-tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenai apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan. "Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah

No comments:

UT-UAE

Subscribe to UniversitasTerbukaUAE
Powered by groups.yahoo.com